Selasa, 20 Juli 2010

KRONTJONG TOEGOE

Krontjong Portugis

Selama ini musik keroncong selalu identik dengan budaya Jawa dan didendangkan oleh kalangan tua. Namun semua pandangan itu langsung sirna ketika saya mengunjungi “markas” Krontjong Toegoe di Kampung Betawi Tugu daerah Semper, Koja, Jakarta Utara. Inilah sebuah perkampungan Betawi yang menyimpan begitu banyak catatan perjalanan sejarah terutama keterkaitan mereka dengan bangsa Portugis. Meski panas yang terik tanpa ampun menyinari Jakarta, saya dan beberapa teman tetap bersemangat untuk mengunjungi kampung Betawi-Portugis yang dijadikan cagar budaya di era Gubernur Ali Sadikin ini. Tujuan pertama saya adalah Gereja Tugu. Meski nampak masih kokoh dari kejauhan, gereja yang dibangun pada 1744 atas prakarsa tuan tanah Cilincing asal Belanda, Justinus Vinck ini ternyata kondisinya cukup memprihatinkan. Bagian pintu masuk yang masih terlihat kuat dan antik, kini terkunci rapat dengan dua buah gembok tergantung di depan pintu. Sebuah tulisan yang terpampang disamping pintu mengumukan bahwa Gereja Tugu akan mengalami masa renovasi. Kami mengambil kesempatan untuk berfoto-foto di sekeliling gereja. Sebuah area pemakaman Belanda terdapat di belakang gereja. Tak begitu luas, namun cukup padat jumlah makamnya. Di samping kanan gereja terdapat sebuah bangunan panggung yang latarbelakangnya dihiasi dengan lukisan Kristus. Gereja yang letaknya menghadap ke arah kali Cakung ini juga membuktikan bahwa betapa pentingnya fungsi kali Cakung zaman dulu. Menurut catatan yang ada, dulunya warga biasa datang ke gereja Tugu dengan menggunakan perahu yang ditambatkan di kali Cakung, persis depan gereja. Kini, kali Cakung tak ubahnya seperti timbunan lumpur dan sampah. Tak ada lagi perahu yang melalui jalur ini. Di depan bangunan gereja ini juga, Andre Juan Michiels, ketua Krontjong Toegoe dan ketua Ikatan Keluarga Besar Tugu menemui kami untuk sekedar ngobrol tentang sejarah budaya Kampung Tugu dan tentunya juga tentang musik keroncongnya yang melegenda itu. Sosok pria dengan rambut gondrong sebahu dan kumis lebat itu dengan hangat menyambut kami semua. Andre lalu mengajak kami untuk mengobrol di sebuah teras kapel di dekat gereja.

“Kampung Tugu sendiri sekarang sudah tinggal segini aja,” ujar Andre sambil menunjuk ke sepanjang areal parkir disamping gereja. Di sekitar gereja memang terlihat beberapa bangunan yang digunakan oleh warga Tugu. Bangunan tersebut kondisinya masih sangat bagus namun jumlahnya tak banyak. “Banyak daerah di sini sekarang yang sudah jadi garasi triller dan depo kontainer,” jelas Andre lagi. Dari dalam areal Gereja Tugu, saya memang melihat banyak tumpukan kontainer yang berada tak jauh dari lingkungan gereja. Beberapa truk besar pembawa kontainer juga mondar-mandir di sepanjang Jalan Tugu Raya di samping gereja. Kampung Tugu yang jaman dahulu menempati hampir semua wilayah Semper, kini hanya mencakup beberapa kapling di sekitar Gereja Tugu saja. “Gereja Tugu ini juga sudah ditutup/tidak di gunakan sejak pertengahan July 2009. Kondisinya sudah tak memungkinkan lagi buat kebaktian,” untuk sementara kami menggunakan Gedung Pertemuan di sebalah Gereja” tutur Andre. Dengan gaya yang santai, Andre kembali bercerita tentang sejarah dari terbentuknya Kampung Tugu. Diawali pada 1661, para mantan pasukan Portugis yang menjadi budak karena dikalahkan Belanda di Malaka meminta pada penguasa Belanda saat itu untuk diberikan daerah sendiri di sekitar Batavia. Permintaan tersebut dikabulkan Belanda dengan syarat mereka harus mengganti nama mereka dengan nama Belanda dan dipaksa untuk memeluk Kristen dari agama Katolik yang mereka anut. Setelah mematuhi semua permintaan Belanda, mereka kemudian diberikan sebuah daerah di sebelah timur Batavia. “Dulu daerah ini namanya bukan Tugu,” kata Andre. Daerah yang dulunya adalah rawa dan hutan ini kemudian menjadi tempat menetapnya para mantan pasukan Portugis tersebut. Karena status mereka yang sudah dibebaskan dari budak, maka penguasa Belanda menyebut mereka dengan nama kaum Mardijkers yang artinya kaum yang dimerdekakan. Sebanyak 23 kepala keluarga atau sekitar 150 jiwa kaum Mardijkers ini kemudian tinggal dan menetap di daerah hutan tersebut. Dalam perkembangannya, mereka menikah dengan warga setempat. Kaum campuran ini kemudian dijuluki kaum Mestizo yang artinya berdarah campuran.

Kata “Tugu” sendiri menurut Andre berasal dari kata Por Tugu Esa (Portugis). Sedangkan ada juga versi cerita yang mengatakan bahwa kata Tugu berasal dari ditemukannya prasasti Tugu peninggalan Raja Punawarman di daerah tersebut. “Isi prasasti itu adalah cerita bahwa merekalah yang membuat kali di didepan gereja itu,” ungkap Andre sambil menunjuk ke arah kali. Siang itu saya juga beruntung karena kedatangan kawan-kawan dari Komunitas Pecinta Keroncong yang berjumlah lima orang. Kehadiran mereka ini langsung membuat ceria suasana siang yang panas itu. Lokasi obrolan pun jadi berpindah ke kediaman Andre yang letaknya tak jauh dari gereja. Di kediaman kel.Michiels , saya dapat melihat lebih jauh sanggar Krontjong Toegoe yang terkenal itu. Dengan berjalan kaki hanya sekitar 100 meter, kami tiba di rumah yang dikenal dengan nama “Rumah Tua”. Disebut “Rumah Tua” karena memang selain usianya yang sudah tua, rumah tersebut kini adalah satu-satunya rumah adat Betawi Tugu yang masih berdiri. Meski Rumah Tua sendiri tak begitu besar, namun halaman rumah ini cukup luas hingga bisa menampung sekitar lima truk kontainer. Uniknya, semua truk kontainer ini di beri tulisan “Krontjong Toegoe” di bagian depannya. Ini menandakan bahwa kontainer tersebut adalah milik dari Andre Juan Michiels. “Tiang-tiang ini sudah saya sanggah dengan kayu balok ,” kata Andre sambil menunjuk ke dua buah tiang di depan teras rumahnya. Menurutnya, mereka sudah meminta agar rumah yang kini sudah menjadi salah satu cagar budaya itu direnovasi. Namun, hingga saat ini realisasinya masih harus menunggu dengan batas waktu yang belum pasti kapan... Di sini saya juga berkenalan dengan Arthur, adik Andre. Ngobrol dengan Arthur juga tak kalah seru. Segala pengalaman pentas di luar negeri menjadi bahan obrolan seru siang itu. Menurut Arthur, yang membedakan keroncong Tugu dengan keroncong lainnya adalah beat dari musik itu sendiri. “Jika keroncong di Jawa musiknya agak lembut, keroncong Tugu justru enak buat dansa dan pesta,” jelasnya. Awalnya, musik keroncong yang lahir di Batavia ini sempat dilarang penjajah Jepang karena dinilai berbau Eropa dan syairnya yang dianggap menimbulkan rasa nasionalisme. “Waktu Pak Gesang menciptakan lagu-lagu keroncong dengan syair yang berbau alam, Jepang kembali mengizinkan jenis musik ini,” jelas Arthur. Keroncong sendiri sebenarnya bermula dari musik Portugis yang dikenal dengan sebutan Fado. Awalnya, Fado dibawakan oleh para budak dari Afrika yang masuk ke Portugis. Kemudian berbaur dengan budaya Moor dari Afrika dan menjadi musik yang dikenal dengan nama Moresco. Dalam penjelajahan Portugis untuk menemukan apa yang mereka kira sebagai “Dunia Baru”, mereka juga memperkenalkan Moresco di beberapa wilayah jajahannya, termasuk di Nusantara.

Fado yang dimainkan dengan menggunakan alat musik cavaquinho ini kemudian beradaptasi dengan masing-masing daerah yang dikunjungi Portugis. Di Hawaii, alat ini disebut ukulele, di Brazil disebut machete dan di Indonesia disebut keroncong karena bunyinya yang croong… croong… croong. Dari sinilah kemudian dikenal musik keroncong. Ciri khas dari Krontjong Toegoe ini adalah pemakaian alat musik rebana dan lagu-lagu yang dibawakannya. Mereka kerap membawakan lagu-lagu Portugis, Belanda, dan lagu-lagu perjuangan Indonesia. Saat tampil di Belanda, seorang pengamat musik Belanda pernah menganggap bahwa musik keroncong Tugu ini adalah cikal bakal dari Jazz. “Kami disuruh ikut North Sea Jazz Festival,” kenang Arthur sambil tertawa. Bahkan setiap pementasan Krontjong Toegoe di Belanda, penonton selalu membludak. Andre juga mengenang pengalamannya ketika mereka sedang manggung di sebuah festival musik di Belanda. Ada seorang penonton yang jatuh pingsan karena terlalu antusias. “Waktu itu saya mainkan lagu I will survive. Ternyata lagu itu adalah lagu kenangan si penonton itu. Karena terlalu histeris, akhirnya dia pingsan,” terang Andre. Gara-gara si penonton itu pingsan, kontan panitia menghentikan pertunjukan yang baru memainkan lima lagu dari 12 lagu yang direncanakan tersebut. Hingga saat ini, Andre terus berupaya melestarikan musik keroncong ini melalui anak-anaknya, Arend, Angel, dan Adrian. Sambil mendengarkan kisah-kisah perjalanan Krontjong Toegoe, kami juga sempat dihibur oleh sebagian anak kelompok Krontjong Toegoe Junior yang terdiri dari anak-anak Andre. Meski usia mereka belum menyentuh remaja, namun sentuhan musikal sudah melekat pada anak-anak ini. Arend yang bermain biola nampak santai di dampingi Adrian dan Arthur yang bermain ukulele. Ketiga keluarga Michiels ini mengiringi Angel, sang bidadari dari Krontjong Toegoe Junior. Tak hanya tembang-tembang lawas Indonesia yang dibawakan anak-anak belia ini, namun tembang dari tanah moyang mereka, Portugis. Sebagai nomor pamungkas, tembang “Tidur Lagi” milik Mbah Surip tak luput dari gesekan biola Arend. Andre sendiri mengaku tak pernah memaksakan pendekatan musikalnya ke anak-anak. Mereka dibiarkan bebas membawakan lagu yang mereka suka. Sejumlah lagu-lagu dari grup band Zamrud dan grup-grup masa kini sering dibawakan anak-anak Andre. “Kalau dipaksa belajar keroncong yang asli, mereka bukan nggak mau,mereka juga mempelajari beberapa lagu, karna mereka masih anak2 maka saya lebih cendrung mengajarkan lagu untuk seumuran mereka” jelas Andre.

Memang, salah satu ciri yang menonjol dari Krontjong Toegoe ini adalah musiknya yang lebih fleksibel dan berwarna-warni. Terkadang mereka berbau Jazz, Pop,Reggae dan bahkan Rock ‘n Roll. Di beberapa pementasan, Andre mengaku sering memainkan tembang-tembang milik The Rolling Stones dan Queen juga lagu-lagu Latin. Suatu perpaduan yang menarik dengan keroncong yang asli tradisional Indonesia. Arthur juga sempat cerita saat berada di Eropa, seorang penggemar mengajak mereka untuk menetap di Eropa. “Dengan musik seperti ini, kami dianggap bisa menjadi selebritis di negeri mereka,” kata Arthur. Itulah satu bukti bahwa sebenarnya musik yang kini berada di tengah deru kesibukan Jakarta Utara yang panas, dalam kondisi yang hampir terjepit, ternyata mendapat begitu banyak tempat di luar negeri. Dari Rumah Tua milik Keluarga Michiels yang sederhana inilah saya dapat mengetahui bahwa ternyata Kampung Tugu yang kini semakin terhimpit oleh gudang-gudang kontainer ini menyimpan begitu banyak liku-liku sejarah budaya Indonesia yang menarik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Go on spit it out!!!